Minggu, 09 Oktober 2011

10 Family Nutrition Dos and Don'ts

 Five Rules to Live By
  1. Do plan your meals every week so that you can keep track of what you are eating.

  2. Do incorporate foods with which the whole family is comfortable. There are healthy alternatives for nearly every kid-favorite food.

  3. Do eat fruits, vegetables, protein, grains, nuts, and dairy daily. These choices will keep your children full and less likely to turn to foods with empty calories.

  4. Do involve the whole family in meal planning, exercise, and family outings. The whole family's involvement will ensure success.

  5. Do get your children to exercise at least three times a week, 60 minutes per day—which can be broken up into six times each day for about 10 to 15 minutes.

Five Things to Avoid

  1. Don't ever skip a meal. Skipping meals deprives the body of important nutrients and may cause you to over compensate by eating empty calories later.

  2. Don't completely eliminate the foods children are used to eating. Instead, try to make or find a healthier version (for example, instead of French fries, try sweet potato slices baked in a broiler).

  3. Don't make deep-fried or fast foods a part of your diet. Replace these with foods that have been sautéed, baked, roasted, broiled, or grilled.

  4. Don't expect the children to participate in good nutrition and exercise without parents being good role models.

  5. Don't rely on daycare, gym class, or sports team involvement to teach your kids lifelong exercise habits. Children need to learn to exercise without being a part of a sports team and get into the habit of an exercise routine.
sumber : babyzone.com

    Senin, 03 Oktober 2011

    Vaksin IPD Kurangi Angka Kematian Bayi

    Angka kematian bayi di Indonesia masih sangat tinggi. Penyebabnya bisa bermacam-macam mulai dari kekurangan gizi, adanya masalah kesehatan pada bayi sejak lahir dan karena penyakit yang berbahaya. Salah satu cara mengurangi angka kematian bayi tersebut adalah dengan memberikan vaksin IPD (Invasive Pneumococcal Disease).

    IPD adalah sekelompok penyakit seperti radang paru (pneumonia), radang selaput otak (meningitis) dan infeksi darah (bakteremia) yang penyebab utamanya adalah Streptococcus pneumoniae. Penyakit ini telah mengakibatkan kematian anak lebih dari 1 juta tiap tahunnya, dan pasien yang berhasil sembuh biasanya mengalami kecacatan.

    "Radang paru atau pneumonia merupakan penyakit IPD yang paling sering terjadi dengan angka kematian 5 sampai 7 persen dan rata-rata menyerang anak berusia dibawah 2 tahun," ujar Dr. Jeffry Senduk, SpA dalam acara seminar mengenai imunisasi pada anak di Siloam Hospital Kebon Jeruk, Jakarta.

    Gejala yang ditimbulkan tiba-tiba panas tinggi, menggigil, sakit dada, batuk berdahak, pusing, jantung berdetak cepat, lesu dan lemas. Namun kadang-kadang disertai dengan mual, muntah dan sakit kepala.

    Penyakit infeksi darah (bakteremia) merupakan kelanjutan dari pneumonia dengan lebih dari 50.000 kasus per tahun. Sedangkan radang selaput otak (meningitis) biasanya dimulai dengan pneumonia. Gejalanya berupa sakit kepala, muntah, gelisah, panas, leher kaku, kejang dan koma, bila berhasil sembuh akan meninggalkan kecacatan seperti lumpuh, tuli, epilepsi dan masalah mental.

    Penularan penyakit ini melalui udara saat bersin, batuk atau berbicara. "Sebenarnya kuman tersebut sudah pada daerah hidung dan tenggorokan dengan jumlah yang normal, tapi dalam jumlah tertentu kuman ini bisa mengakibatkan IPD," ujar Dr. Theresia Adhitirta, Product Manager Wyeth.

    Theresia menambahkan kelompok umur yang berisiko terkena IPD adalah anak-anak usia dibawah 2 tahun, karena daya tahan tubuhnya masih lemah dan sistem imun dalam tubuhnya belum terbentuk secara sempurna.

    IPD bisa dicegah dengan melakukan hidup sehat, nutrisi bergizi serta melakukan vaksinasi IPD yang sudah direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sejak Juni 2006, sedangkan di dunia sudah sejak tahun 2000.

    "Efektifitas dari vaksin ini jika diberikan dengan dosis lengkap sebesar 97,4 persen, jadi jika anak yang sudah divaksin terkena IPD gejalanya jauh lebih ringan sehingga bisa disembuhkan," ujar Dr. Theresia.

    Dosis 1 saat berusia 2 bulan, dosis 2 saat berusia 4 bulan, dosis 3 saat berusia 6 bulan dan yang terakhir saat berusia 12 sampai 15 bulan. Bagi yang terlambat tetap bisa divaksinasi, jika berusia 7 sampai 11 bulan diberikan 3 dosis, 12 sampai 23 bulan diberikan 2 dosis dan lebih dari 24 bulan hingga 9 tahun diberikan 1 dosis.

    Efek samping yang sering terjadi hampir sama dengan vaksinasi lainnya yaitu kemerahan dan rasa sakit di tempat suntikan, demam yang tidak tinggi dan biasanya mengakibatkan kepanikan orang tua. Pemberian parasetamol bisa mengatasi efek samping tersebut.

    Dengan memberikan vaksin IPD pada bayi Anda, bisa mencegah bayi atau anak terkena penyakit yang disebabkan oleh infeksi pneumokokus ini. Sehingga jumlah bayi yang meninggal akibat penyakit ini jauh berkurang dan bisa menurunkan angka kematian bayi di Indonesia.

    Tips Vaksinasi Tepat untuk Anak

    1. Pastikan bahwa orangtua mengetahui jadwal imunisasi anaknya, dan selalu membawa buku vaksinasi saat kunjungan.
    2. Berikan informasi kepada dokter jika anak mengalami efek samping akibat vaksinasi sebelumnya.
    3. Pastikan anak diperiksa terlebih dahulu sebelum divaksinasi dan anak dalam keadaan sehat menurut penilaian dokter.
    4. Pastikan dokter memberikan catatan tentang pemberian vaksinasi tersebut dan jadwal vaksinasi berikutnya dalam buku vaksinasi.
    5. Bertanyalah tentang apapun sehubungan dengan vaksinasi yang telah diberikan atau untuk vaksinasi berikutnya.
    6. Perhatikan anak dengan seksama setelah vaksinasi, catat atau jika perlu hubungi dokter jika terjadi gejala yang tidak biasa atau diluar keterangan yang telah diberikan dokter.
    7. Jangan langsung pulang setelah vaksinasi, tunggulah hingga 15 menit jika tidak terjadi apa-apa atau anak sudah tenang baru boleh pulang ke rumah.
    sumber : detikhealth.com

      Berapa Lama Waktu Tidur yang Dibutuhkan Anak?

      Setiap orang memiliki jumlah jam tidur yang berbeda-beda, selama ini orang hanya mengatakan tidur yang cukup adalah selama 8 jam sehari. Tapi hal ini tidak berlaku untuk anak-anak, karena semakin muda usia sang anak maka jam tidurnya semakin banyak.

      Para ahli menetapkan waktu tidur dengan benar bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur bayi dan balita. Anak-anak yang tidak mendapatkan tidur cukup akan berdampak kepada kepribadian, memori, perhatian dan emosi sang anak. Biasanya anak akan mudah marah, tidak bisa berkonsentrasi dan memiliki memori yang lemah.

      Berikut ini jumlah jam tidur yang dibutuhkan anak-anak berdasarkan usianya menurut National Sleep Foundation:


      1. Bayi baru lahir berusia 2 bulan membutuhkan tidur 10,5 sampai 18 jam.
      2. Bayi 3 bulan sampai 11 bulan membutuhkan tidur 9 sampai 12 jam dan ditambah dengan tidur siang.
      3. Anak usia 1 sampai 3 tahun membutuhkan tidur 12 sampai 14 jam.
      4. Anak usia 3 sampai 5 tahun membutuhkan tidur 11 sampai 13 jam.
      5. Anak usia 5 sampai 12 tahun membutuhkan tidur 10 sampai 11 jam.
      6. Anak remaja membutuhkan tidur setidaknya 8,5 sampai 9,5 jam.
      7. Dewasa membutuhkan tidur 7 sampai 9 jam.

      Setiap orang yang mendapatkan jumlah yang cukup akan merasa bahagia saat terbangun pagi harinya, termasuk anak-anak. Jika anak mendapatkan jumlah tidur yang cukup maka anak akan bersemangat pergi ke sekolah, bisa menerima pelajaran dengan baik dan keuntungan lainnya.

      "Masalah pola dan rutinitas tidur biasanya terjadi karena proses jangka panjang yang tanpa disadari telah menjadi suatu kebiasaan," ujar Lauren Hale, seorang asisten profesor di Stony Brook University Medical Center, New York, seperti dikutip dari CNN.

      Agar anak memiliki pola tidur yang tepat, biasakan untuk menyuruh anak masuk ke kamar tidur satu jam sebelum waktu tidurnya. Dan jangan membiasakan anak tertidur karena menonton televisi atau membaca buku cerita, serta usahakan anak tidur dengan nyenyak.

      sumber : detikhealth.com

      Yang Perlu Diwaspadai Ibu Hamil

      Saat perempuan mengandung banyak perubahan yang terjadi dalam tubuhnya baik fisik maupun psikis. Perempuan hamil kadang mengabaikan beberapa gejala yang dialaminya dan menyangka bahwa itu adalah perubahan alami yang terjadi ketika hamil.

      Ada beberapa gejala yang harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan oleh ibu hamil, karena bisa saja gejala tersebut merupakan tanda ada sesuatu yang tidak beres dengan kandungannya.

      Gejala yang harus diwaspadai tersebut seperti dikutip dari Babycenter, Rabu (16/9/2009) adalah:

      1. Bayi bergerak atau menendang lebih sedikit dari biasanya. Sebaiknya lebih memperhatikan seberapa sering bayi bergerak dalam satu hari.
      2. Nyeri perut ringan, namun berkelanjutan.
      3. Perdarahan atau ada bercak pada vagina.
      4. Tekanan panggul, rasanya seperti bayi mendorong turun, sakit punggung bagian bawah yang terjadi sebelum kehamilan berusia 37 minggu.
      5. Terasa nyeri saat buang air kecil.
      6. Muntah yang terus menerus dan disertai dengan sakit atau demam.
      7. Gangguan penglihatan seperti pandangan kabur, tidak bisa fokus dalam melihat.
      8. Sakit kepala yang terus menerus dan disertai dengan pandangan kabur serta terasa kebas atau mati rasa.
      9. Adanya peningkatan jumlah cairan vagina dan ada pula yang diserta dengan beberapa perubahan, seperti berair, berlendir atau berdarah. Jika sudah 37 minggu maka peningkatan cairan ini wajar dan menunjukan akan segera melahirkan.
      10. Terjadi pembengkakan di sekitar wajah atau mata dan peningkatan berat badan yang cepat.
      11. Rasa gatal yang tidak kunjung hilang, terjadi pada badan, tangan, kaki, telapak tangan atau di seluruh tubuh.
      12. Sembelit yang disertai nyeri perut atau diare parah yang berlangsung lebih dari 24 jam.
      13. Sering pusing, detak jantung yang cepat atau jantung yang berdebar-debar.

      Jika Anda mengalami salah satu dari gejala ini, jangan anggap remeh segera periksakan kondisi sang janin dan diri Anda.

      sumber : detikhealth.com

      6 Kondisi Cedera Kepala Anak yang Tak Perlu CT Scan

      Selama ini orang yang mengalami cedera pada kepalanya terutama anak-anak biasanya melakukan tes CT scan untuk mengetahui adakah masalah di otaknya. Tapi kini ada pedoman kondisi cedera kepala yang tidak harus dites menggunakan CT scan. Karena paparan sinar radiasi CT scan juga berbahaya.

      Sebuah studi baru menemukan pedoman yang sangat efektif untuk mengidentifikasi anak-anak dengan risiko yang sangat rendah dari cedera otak serius yang dapat mengurangi penggunaan CT scan. Karena penggunaan CT scan bisa menyebabkan anak-anak terpapar sinar radiasi.

      Peneliti Amerika Serikat menganalisis lebih dari 42.000 data anak-anak yang mengalami cedera di kepalanya, termasuk data pasien yang melakukan computed tomography (CT) scan dan didapatkan 35 persennya adalah anak-anak. Uji klinis sangat penting, karena 376 anak mengalami cedera otak traumatis dan 60 diantaranya harus menjalani operasi bedah saraf.

      sumber : detikhealth.com

      Karakteristik yang digunakan untuk memprediksi anak di bawah usia 2 tahun tidak perlu melakukan scan adalah:
      1. Status mentalnya normal
      2. Tidak terdapat bengkak pada tubuhnya kecuali kulit kepala frontal
      3. Tidak hilang kesadaran atau pingsan kurang dari lima detik
      4. Tidak mengalami mekanisme cedera yang parah
      5. Tidak terlihat tengkorak tulang patah
      6. Orangtua melihat kelakuan anaknya masih normal.

      Dengan menggunakan pedoman ini, peneliti meyakini secara akurat bahwa 1.176 anak tidak perlu melakukan klinik traumatik cedera otak. Dan didapatkan anak-anak usia di bawah usia 2 tahun yang memiliki risiko rendah tapi tetap melakukan CT scan sebesar 24 persen serta anak usia 2 tahun sampai 18 tahun yang berisiko rendah tapi melakukan CT scan sebesar 20 persen.

      "Pedoman ini penting untuk menghindari penggunaan CT scan yang bisa mengakibatkan paparan radiasi terhadap 25 persen anak-anak kurang dari 2 tahun dan 20 persen anak-anak lebih dari 2 tahun," ujar Dr Nathan Kuppermann dari University of California, seperti dikutip dari HealthDay.

      Jika anak yang mengalami cedera kepala memenuhi karakteristik tersebut, maka anak tidak perlu melakukan CT scan. Karena untuk mengurangi paparan radiasi sinar yang jika terlalu sering dilakukan bisa berbahaya.

      sumber : detikhealth.com

      Plus Minus Melahirkan Secara Caesar

      Melahirkan anaknya melalui operasi caesar makin digemari ibu hamil karena dianggap tidak sakit dan risikonya lebih sedikit dibandingkan melahirkan secara normal. Apa saja keuntungan dan risiko dari operasi caesar ini?

      Operasi caesar biasanya dilakukan jika ada gangguan pada bayi seperti terlilit tali pusat, posisi bayi sungsang, bayi keracunan air ketuban atau kondisi lainnya. Tapi bisa juga karena kondisi ibunya seperti memiliki pinggul kecil atau sebelumnya memang melahirkan secara caesar.

      Berikut ini adalah keuntungan dan risiko yang mungkin saja dihadapi oleh ibu yang melahirkan secara caesar, seperti dikutip dari Health24

      Keuntungan
      Operasi caesar akan memberikan keuntungan kepada ibu yang melahirkan seperti menghindari rasa sakit yang dialami oleh ibu yang melahirkan secara normal. Selain itu ibu bisa memilih tanggal untuk melahirkan bayinya. Biasanya ada beberapa ibu yang memilih caesar agar bisa melahirkan bayinya pada tanggal-tanggal tertentu yang dianggap bisa membawa hoki.

      Keuntungan lainnya adalah bisa menyelamatkan nyawa bayi dan ibunya jika kondisi salah satunya bermasalah, seperti apabila bayi mengalami kekurangan pasokan oksigen dan makanan dari plasenta. Apabila tidak dilakukan caesar bisa mengakibatkan kematian pada bayi tersebut.

      Risiko
      Operasi caesar yang dilakukan berisiko terhadap bayi dan ibunya. Risiko terhadap bayi adalah melahirkan prematur dan memiliki sindrom gangguan pernafasan. Gangguan pernafasan ini berhubungan dengan beberapa komplikasi, yang kemungkinan memerlukan perawatan intensif bagi bayi tersebut. Selain itu, berisiko bayi mengalami cedera saat dilakukan pembedahan.

      Sedangkan risiko yang mungkin dihadapi oleh sang ibu adalah komplikasi anestesi, biasanya bius lokal yang dilakukan membuat perasaan sedikit tidak nyaman dan pada beberapa kasus menimbulkan reaksi alergi. Infeksi pada organ sekitar rahim atau tulang panggul. Berisiko kehilangan darah lebih banyak dibandingkan dengan cara normal.

      Risiko lain adalah penurunan fungsi usus yang kadang jadi melambat selama beberapa hari setelah operasi, kembung dan rasa tidak nyaman. Risiko akibat operasi itu sendiri, membutuhkan waktu yang lebih lama berada di rumah sakit dan masa penyembuhan setelah operasi tersebut serta angka kematian ibu dua sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang melahirkan secara normal.

      Operasi caesar sebaiknya dipilih jika memang ada gangguan pada ibu atau bayinya, yang bisa berakibat fatal apabila dilakukan secara normal. Tapi jika semuanya berjalan lancar disarankan untuk melahirkan secara normal.

      sumber : detikhealth.com

      Obat yang Boleh Dikonsumsi Bayi

      Orangtua kadang ragu saat harus memberikan obat untuk buah hatinya. Tapi jika anak sudah merasa kesakitan, akan lebih buruk lagi jika membiarkannya. Karena itu kenali obat-obat apa saja yang boleh dikonsumsi bayi.

      Obat yang diperuntukkan bagi bayi terkadang memang dijual bebas, tapi sebenarnya ada obat yang kurang efektif dan hanya memberikan efek plasebo saja.

      Efek plasebo adalah jika suatu obat dikatakan bisa membuat kondisi anak membaik, maka sepertiga populasi anak akan merasakan hal tersebut (kondisi membaik).

      Seperti dikutip dari buku Your Baby Month by Month karangan Su Laurent dan Peter Reader, Selasa (8/6/2010) yang diterbitkan Esensi, Rabu (9/6/2010) ada beberapa jenis obat untuk bayi, yaitu:

      1. Jenis obat cair. Kebanyakan obat-obatan khusus untuk bayi dibuat dalam bentuk cairan (sirup). Cara termudah untuk memberikannya adalah melalui pipet (tabung suntik khusus untuk obat), usahakan untuk mengarahkan obat ke dinding dalam pipi bayi dan bukan ke pangkal tenggorokan sehingga bayi tidak tersedak.
      2. Jenis obat supositoria. Jenis obat ini biasanya diberikan pada bayi melalui anus. Caranya masukkan obat yang ujungnya berbentuk seperti peluru ke lubang anus, lalu rapatkan kedua belah pantat bayi selama beberapa saat agar obat tidak terdorong keluar lagi.
      3. Jenis obat tetes. Obat ini biasanya diberikan sebagai obat tetes mata, obat telinga atau obat untuk mengatasi masalah di hidung.

      Tak ada salahnya jika orangtua meminta saran dari apoteker atau dokter mengenai obat-obatan yang bisa dibeli bebas tanpa resep dokter. Selain itu pastikan juga bahwa obat tersebut sesuai dengan usia anak, menyimpannya di luar jangkauan anak-anak serta dosis yang diberikan tidak melebihi dosis harian. Ketahui obat-obat apa saja yang bisa dikonsumsi, yaitu:
      Obat Kegunaan Cara pakai
      Parasetamol Demam dan nyeri Oral (mulut) dan anus (supositoria)
      Ibuprofen Dema, nyeri dan peradangan Oral (mulut)
      Obat batuk Berbagai tipe batuk (kering, berdahak dan lainnya) Oral (mulut)
      Antihistamin Reaksi alergi akut, alergi serbuk sari Oral
      Cairan rehidrasi Gastroenteritis (peradangan organ perut dan usus) akut dan penyakit dengan risiko dehidrasi Dicampur dengan air (oralit) untuk diminum
      Tetes hidung salin Melapangkan hidung yang tersumbat Nasal (lewat hidung)
      Gaviscon bayi Mengobati refluks gastroesofageal (naiknya asam lambung ke tenggorokan) Dicampur dengan susu
      Laktulosa Sembelit ringan Oral
      Senna Sembelit sedang Oral
      Krim steroid Eksim yang meradang Dioleskan pada kulit
      Emolien Kulit kering dan eksim Dioleskan pada kulit
      Gel gigi Gusi nyeri Dioleskan pada gusi
      Lotion telur kutu Kutu rambut Digunakan pada kulit kepala
      Obat cacing Untuk cacing kremi Bentuk tablet atau sirup

      Hal terpenting yang harus dipahami oleh orangtua adalah jangan pernah memberikan aspirin pada anak di bawah usia 16 tahun kecuali diresepkan oleh dokter anak. Hal ini karena aspirin dihubungkan dengan penyakit langka yang berpotensi mematikan dan disebut dengan sindrom Reye.

      sumber : detikhealth.com